Siapa yang Mau Kupanggil dengan Sebutan Manusia?


Manusia tidak rela kalau dirinya dipanggil dengan sebutan nama binatang, padahal belum tentu itu artinya tidak baik. Tergantung dari persepsi mana dinilainya. Aku? Tidak apa-apa mereka memanggilku begitu, selagi aku masih bisa mengambil kesan positif dari para binatang itu, binatang yang sebenarnya memiliki kelebihan daripada manusia itu sendiri. Bahkan terkadang akupun memanggil mereka dengan sebutan binatang, bukan untuk mencerca, tapi untuk diambil maknanya.

Aku tahu, buaya merupakan sebutan untuk para lelaki hidung belang. Tapi ada satu orang yang tak mengapa jika kupanggilnya buaya. Terkadang teman-temannya yang lain hanya menertawakannya jika kupanggil Ia dihadapan teman-temannya. Tapi Ia tetap tidak marah, Ia hanya tersenyum lalu menjelaskan makna buaya itu. Ya, buaya yang maknanya selalu dianggap jelek jika itu sebutan untuk pria, sebenarnya salah satu binatang yang paling setia terhadap pasangannya. Bahkan manusia pun sebenarnya kalah tingkat kesetiaannya jika dibandingkan dengan buaya. Itulah kelebihannya, hingga aku memanggilnya buaya.

Terkadang aku memanggilnya monyet. Bukan untuk menghinanya karena wajahnya mirip monyet, tapi sifatnya yang mengagumkan. Ia bisa langsung dekat dengan yang belum dikenalnya, sementara yang lainnya masih takut-takut dan menjaga jarak. Pertemanan buatnya adalah segalanya, dan Ia lebih takut kehilangan teman daripada hartanya. Tak jarang Ia tertipu karena sifatnya itu. Sudah kuperingatkan berkali-kali tetapi Ia selalu tersenyum dan berkata, “Selalu ada hikmah di setiap kejadian.”, itulah mengapa aku tak tahan untuk tidak memanggilnya monyet.

Ada pula yang suka apabila kupanggil kerbau. Tidak karena bau badannya, tetapi lebih kepada sifatnya sebagai pekerja yang tangguh. Keluarganya pun bergantung padanya, tak salah apabila Ia bisa memiliki sifat itu. Keinginannya untuk bertahan hidup demi menghidupi keluarganya jauh lebih tinggi dibanding orang biasa. Tak ada yang heran apabila kupanggilnya kerbau. Mungkin mereka anggap badannya yang besar dan kulitnya yang keras sehingga Ia dijuluki kerbau. Bahkan mereka pun memanggilnya begitu.

Bagaimana dengan Tikus? Panggilan ini lebih sering ditujukan kepada koruptor. Tidak pernah ada yang mau kupanggil seperti itu. Akhirnya salah satu temanku yang kupanggil seperti itu, tanpa sepengetahuannya tentunya. Karena jika kupanggil terang-terangan, bisa dicurigai Ia oleh teman seluruh kantor. Padahal rasa empatinya terhadap sesama itulah yang bisa membuatnya kujuluki seperti itu. Ia biasa menjadi tempat penampungan curahan hati orang lain, bahkan paling dipercaya dibandingkan yang lainnya. Saran-sarannya, atau setidaknya perhatiannya, membuat Ia semakin dipercaya orang lain, sehingga mereka merasa aman menyimpan rahasia kepadanya.

Terkadang kupanggil temanku dengan sebutan bangsat, bukan karena namanya mengandung unsur –sat dan Ia seorang pria, tetapi posisinya sebagai pengoreksi diantara kami yang akhirnya membuatku memanggilnya begitu. Ia selalu melihat sesuatu dari berbagai macam sudut pandang, sehingga mudah mengoreksi orang lain yang berpotensi salah dalam mengambil keputusan. Tak jarang, ucapan dan sindirannya membuatnya dibenci orang lain, bahkan ada pula yang menganggapnya gila. Ia memang siap dibenci, demi mempertahankan anggapannya yang biasanya, dan selalu, benar. Layaknya bangsat atau kutu busuk yang kehadirannya selalu dibenci manusia, tetapi di sisi lain, kehadirannya justru untuk mengingatkan manusia supaya bisa menjaga kebersihannya, baik diri maupun sekitarnya.

Anak babi yang selalu menunduk, bukan berarti malu karena memiliki induk yang juga babi, tatapi lebih karena Ia tidak mempedulikan orang lain yang berkata negatif tentangnya. Begitulah dirimu. Kau selalu menyembunyikan kelebihanmu kepada orang lain. Takut disangka riya. Orang yang belum mengenalmu pasti langsung beranggapan buruk tentangmu. Kau yang tidak pernah mempedulikan penampilan, menyembunyikan jatidirimu dengan pakaian seadanya dan tingkah laku sewajarnya, tidak seperti orang yang berkecukupan. Sering sekali kau dihina oleh mereka yang tidak mengerti tentangmu. Kau yang bisa membuka sekian banyak lapangan kerja hanya dalam waktu beberapa hari saja, memilih tersenyum dan berkata, “Jangan melihat sesuatu hanya dari luarnya.”. Namun apa daya, mereka yang sudah tertutup mata hatinya tidak akan bisa mengartikan makna dari perkataanmu itu.

Kasar memang kalau mengucapkan anjing kepada orang yang tidak dikenal. Tapi kalau aku yang mengucapkannya kepada salah seorang temanku, Ia tidak pernah marah. Ia kupanggil anjing karena rasa kesetiakawanannya yang mengagumkan. Tak jarang Ia membelaku apabila aku dalam situasi yang tidak menguntungkan, karena ia tahu, aku tidak salah. Tidak ada rasa takut sedikitpun darinya saat membela yang Ia anggap benar, karena menurutnya, kebenaran dan kesalahan itu sifatnya subjektif, tergantung dari perspektif mana orang lain melihatnya.

Lalu siapa yang bisa kupanggil dengan sebutan manusia? Tidak tahu. Menurutku, manusia yang sebaik-baiknya manusia, ialah manusia yang mati meninggalkan nama. Jadi, biasanya hanya yang sudah mati dan meninggalkan namalah yang akan kupanggil dengan sebutan manusia, karena jika yang masih hidup, Ia pasti akan tersinggung. Manusia masih lebih menerima apabila kupanggil dengan nama binatang dibandingkan jika kupanggil dengan sebutan manusia. Karena jika begitu, aku dianggap tidak menganggapnya manusia dan hanya bermaksud untuk mengolok-oloknya. Dan jika Ia senang apabila kupanggil dengan sebutan manusia, aku yang akan heran. Apalah hebatnya manusia, selain karena Ia diberikan akal pikiran? Memang manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan, tapi selain itu? Akal saja tidak cukup apabila tidak dimanfaatkan. Apa manfaatnya, menolong sesama? Banyak manusia menghancurkan manusia lainnya demi mendapatkan nama. Memanfaatkan hasil bumi? Banyak manusia yang serakah, menghabisi hasil bumi demi keuntungan pribadi. Terkadang aku merasa jijik melihat tingkah laku manusia itu sendiri, manusia yang tidak berfikir layaknya manusia tidak pantas disebut manusia. Sebagai hamba Tuhan? Berapa banyak manusia yang masih rajin beribadah tepat waktu? Memang mereka ibadah, tapi banyak yang melakukannya hanya untuk mengugurkan kewajibannya saja sebagai hamba Tuhan, tidak sebagai kebutuhan mereka sendiri akan hal-hal spiritual, hingga jiwa mereka tetap hampa dan tetap mengeluh kalau Tuhan tidak membantunya padahal mereka selalu meminta kepadaNya. Hei, Tuhan itu tetap ada. Hanya saja hati kalian para manusia yang jauh dari Tuhan, sehingga Tuhan pun enggan masuk kedalam hati kalian dan membantu kalian.

Lalu kalian sebut apa aku ini? Terserah kalian mau panggil aku dengan sebutan apapun. Tapi jika aku diminta untuk memilih, panggil saja aku bangsat, dan sebagai tanda terimakasih dariku karena sudah memanggilku begitu, akan kupanggil kalian dengan sebutan manusia.

Tangerang Selatan, 21 Oktober 2014

Leave a comment