Teman Selamanya


“Assalamu’alaikum. Apa kabar? Ini aku, Diana. Masih inget nggak? Aku cuma mau ngasih tau aja, kalo minggu depan aku mau nikah. Undangannya udah aku titipin Alfa. Kamu dateng ya.”, sms itu kubaca berulang-ulang, meskipun aku udah tau isinya.

***

“Diana mau nikah minggu depan, undangan buat lu udah dititipin ke gue.”, begitulah sebaris sms yang kuterima dari temanku, Alfa. Saat itu juga hatiku serasa berhenti berdetak, sudah waktunya. Meskipun kubalas dengan nada senang, tapi pikiranku sangat kacau. Meskipun saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang liburan dan seharusnya hatiku sudah lebih tenang, namun berita ini sangat mengagetkanku.Dan dalam sisa waktu perjalanan pulang itupun aku tidak bisa berkonsentrasi lagi, hingga terkadang ada yang menegurku karena terlalu banyak diam. Meski wajahku memperlihatkan senyum kepada banyak orang, tapi hatiku serasa diiris-iris. Mungkin ini yang namanya kehilangan.

***

Diana. Dialah wanita yang selama ini menjadi temanku, mulai dari SMA sampai dengan sekarang, terhitung sudah hampir 7 tahun. Dulu dia selalu cerita padaku saat dia menghadapi masalah, sekecil apapun itu. Bahkan bisa dibilang Diana tergantung padaku, walaupun kenyataannya belum tentu begitu. Bahkan pacar-pacarnya yang dulu selalu cemburu padaku sampai ada yang mau menghajarku, untungnya dia selalu membelaku hingga saat ini. Dan bagiku, Diana selalu ada dihatiku, meskipun aku tidak tahu apakah ini cinta atau bukan. Karena pantang bagiku untuk mencintai sahabat sendiri, kata orang sih bisa merusak persahabatan yang sudah lama terjalin. Lagipula aku takut kalau tidak bisa membahagiakan dia nantinya. Aku lebih suka menganggap dia sebagai saudaraku sendiri, yang harus kulindungi dengan sepenuh hati. Bahkan matipun aku rela untuknya, jika memang itu harus terjadi.

***

TAKKK… Hampir saja aku jatuh. Kulihat rantai motorku putus. Duit lagi nih, pikirku. Akhirnya hari itu aku terlambat untuk datang ketempat kerja. Sambil menunggu rantai motorku diganti, aku kembali memikirkan Diana. Memang dialah dewi keberuntunganku sejak dulu. Bahkan waktu ujian akhir di SMA pun aku tidak belajar, dan hasilnya nilaiku tetap bagus seperti biasanya. Tetapi semenjak aku kehilangan kontak dengannya kurang lebih 2 tahun lalu, keberuntungan seolah-olah menjauhiku. Sekarang aku harus bersusah payah dulu jika ingin dapat nilai bagus. Tapi bukan karena itu aku ingin selalu dekat dengannya. Aku selalu merasa nyambung kalau sedang bicara dengannya.

***

H-3, aku kerumah Alfa, untuk mengambil undangan. Sekalian ingin mendengar ceritanya waktu Diana kerumahnya. Dan hari itu tidak seperti biasanya, macet parah. Butuh waktu satu setengah jam untukku supaya bisa sampai kerumahnya.
“Assalamu’alaikum,” seruku sambil mengetuk pintu rumahnya.
“Wa’ alaikum salam. Kirain nggak bakal dateng lu, yuk masuk.”, kebetulan Alfa sendiri yang membukakan pintu, rupanya ia sudah menungguku dari tadi.
“Tadi macet parah, gue aja yang naek motor nggak bisa ngebut.”, Jawabku sambil masuk dan duduk di sofa ruang tamunya.
“Nih undangannya, dibaca aja.”, rupanya Alfa memang sudah menyiapkan undangan yang dititipkan untukku. Undangan yang terlihat mewah, menurutku.
“Waktu itu Diana dateng sama temennya, dia mitip undangan ini sekalian nanya nomor HP lu, makanya dia bisa tau nomor lu. Kalo dari mukanya sih dia kelihatan bahagia banget. Apalagi waktu dia cerita soal calon suaminya.”, Alfa terus bercerita soal pertemuannya dengan Diana, sementara aku pura-pura mendengarkan, padahal pikiranku menerawang kemana-mana.
“Oy, lu dengerin omongan gue nggak sih?”, Alfa menendang kakiku, akupun tersentak. “Iya, iya, dari tadi juga dengerin kok. Kalo gitu nanti pas acaranya, bareng ya.”, sahutku sambil meminum sirup jeruk yang dari tadi dihidangkan.
“Yaudah deh, pokoknya nanti lu sms gue aja pas udah mau jalan, biar gue siap-siap.”
“Oke, kalo gitu gue pulang dulu ya, besok gue kerja lagi nih.”, akupun bergegas pamit, karena tidak ingin ada yang tahu bagaimana kesedihanku saat ini.

***

Saat hari H itu tiba, aku tidak makan dari kemarin. Bukannya karena mau pergi ketempat Diana, tapi aku memang benar-benar tidak nafsu makan. Beginilah aku kalau sedang ada yang dipikirkan. Bahkan pernah aku sakit, kata dokter sih gejala tipes, itu karena aku tidak makan, karena saat itu aku bingung memilih, antara Diana dan pacarku saat itu. Meskipun akhirnya Diana mengalah, justru itulah yang membuatku sakit.
Bahkan dalam perjalanan aku masih memikirkan hal itu, masih menyesali kenapa saat itu aku tidak memilih temanku sendiri, karena dialah yang selalu ada disampingku, yang selalu mendukungku.
Sesampainya dirumah Alfa, kami langsung berangkat, karena Alfa yang tahu rumah Diana, karena dialah salah satu mantannya. Dulu Alfa juga sempat cemburu padaku, karena terlalu dekat dengan Diana, sampai akhirnya mereka putus.

Tidak terasa, kamipun sudah sampai. Kuparkir motorku tidak jauh dari tempat diadakannya resepsi pernikahan. Undangan yang datang tidak terlalu ramai, mungkin karena kami sampai disana agak sore, dan biasanya teman-teman dari kedua mempelai datang malam.
Saat masuk ketempat acara, akupun menarik napas, mempersiapkan mental untuk bertemu dengan Diana. Dan ia juga melihatku dari kejauhan, sambil berbisik ke suaminya, mungkin memberitahu kalau aku yang datang. Saat tiba giliranku menyalami mereka, suaminya tersenyum lebar sambil berterimakasih karena sudah datang. Dan saat aku menyalami Diana, iapun tersenyum manis sekali sambil bercanda menyuruhku untuk makan yang banyak. Akupun hanya tersenyum.
Bahkan saat mengambil makanpun aku tidak banyak, hanya sekedar tidak ingin mengecewakan Diana. Lain halnya dengan Alfa, dia makan seperti kesurupan. Tapi begitu melihatku yang makan hanya sedikit, iapun segera menyudahi makannya dan mengajak berpamitan untuk pulang.
Saat aku dan Diana bersalaman kembali, iapun mengucapkan terimakasih sambil berpesan, “Hati-hati”. Dan akupun hanya bisa mengangguk pelan sambil tersenyum pahit. Inilah kenyataan yang harus kuhadapi.

***

“Makasih ya, udah bareng kesana.”, Akupun mengangguk sambil berkata,”Sama-sama, gue langsung cabut ya, mau nonton MU, takut telat.”
Akupun langsung memacu motorku dengan kencangsupaya pikiranku tidak melayang kemana-mana, tapi sia-sia, aku masih memikirkan Diana, wanita yang selama ini menjadi temanku, menikah dan itu artinya dia meninggalkanku sendiri. Diana yang dulu selalu bergantung padaku, sekarang ia bisa berdiri sendiri dengan suami yang selalu mendukungnya, sementara aku malah semakin bergantung kepadanya.
Kubiarkan bayangan Diana berkecamuk di pikiranku, sampai aku mendengar suara klakson dibunyikan dengan kencang dan…
BRAKKKK !!!!!!!!!!
GUSRAKKKK !!!!!!!!!!
TIIIIIIINNNNNNN !!!!!!!!!!
Akupun terkapar di jalanan, kulihat motorku terhempas jauh, dan helmku yang sudah berlogo SNI tergeletak disampingku, retak. ‘Dasar SNI,baru begini aja udah retak’, pikirku.
Aku mencoba bangkit berdiri dengan terhuyung-huyung, kurasakan ada yang mengalir di pipiku. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap…

*****

“Kamu lagi ngeliatin apaan sih, sampe ngelamun gitu.”, Tia, tunanganku, menepuk pundakku lalu bergelayut di lenganku.
“Nggak kok, cuma lagi ngeliatin ini nih.”, jawabku sambil menunjukkan undangan yang kupegang, undangan yang telah lama kusimpan bersama dengan dokumen pentingku yang lain.
“Dari siapa nih, mantan kamu ya? soalnya ngeliatinnya sampe lama gitu.” tanyanya lagi sambil mengambil dan membuka undangan yang kupegang tadi.
“Bukan, itu temen deket aku. Tadi aku baru inget, kita harus undang dia juga.”, bayangan Diana pun kembali hadir, meskipun belum terlalu jelas. Memang, semenjak kecelakaan 3 tahun lalu, ingatanku hilang, terutama saat sebelum kecelakaan. Akhir-akhir ini aku mulai hampir bisa mengingat semuanya, meskipun baru sedikit. Tia, temanku yang sekarang sudah bertunangan denganku, yang menemaniku selama 3 tahun ini dan membantuku mengingat kembali kejadian yang dulu. Dan bulan depan, kami akan menikah.
“Manis ya, aku jadi pengen ketemu dia, boleh nggak?”, tanya Tia manja.
Akupun tersenyum, “Boleh, nanti sekalian anter undangan buat dia juga ya. Dia yang pertama kita undang.”
“Asikkkk. Lusa aja ya, pas aku libur kerja.”, pintanya sambil tersenyum, manis sekali.
“Sip, gampang lah. Aku juga lagi pengen jalan-jalan. Bosen kerja terus.”, kataku sambil mengacungkan jempol, Tia pun kembali tersenyum manis.
Pikiranku kembali ke Diana. Karena dialah, aku jadi bisa menikmati hidupku selama ini. Tuhan memang adil, saat aku kehilangan Diana dan kecelakaan, Tia yang menemaniku sampai akhirnya aku melamarnya.
‘Alhamdulillah. Makasih Diana.’

Leave a comment